Sebagian jama'ah tengah menunaikan Shalat Ashar di Masjid Istiqlal |
Sebagian orang mungkin bilang, "Kenapa bukan ke Istiqlal dulu?".
Atau justru, "Ah, semua aja pengen ke Istiqlal. Gak ada Masjid laen apa?".
Jadi kieu mang, ijinkan saya menjawab 1 pertanyaan itu sekaligus.
Pertama, urang nu ngaboseh sapedana. Keun we atuh kumaha urang, maenya kumaha batur. Perjalanan saya bersama Si Keong ini memang sejak awal saya niatkan sebagai Ramadhan Ride #GowesToMosque, bersepeda mengunjungi beberapa Masjid selama bulan Ramadhan. Pertama kali dalah hidup saya, dan bukan sebagai upaya napak tilas perjalanan apa pun.
Istiqlal? Kenapa tidak? Masa seumur hidup saya baru 2 kali mampir shalat di Masjid yang katanya terbesar se-Asia Tenggara itu. Itu pun bukan sengaja, alias sambil lewat.
Selain itu, tak ada target khusus saya pasang untuk Ramadhan Ride #GowesToMosque perdana ini. Random kalau bahasa kekiniannya. Yang pasti, harus bisa tetap terjangkau dengan bersepeda dalam keadaan berpuasa. Dan itu ukurannya saya perkirakan sekitar 10-15 km. Di atas itu sepertinya saya bakal butuh usaha ekstra untuk menahan dahaga. Ampun ah ari kedah kitu-kitu teuing mah.
Kembali ke urusan rencana saya bersepeda ke Masjid Istiqlal. Seperti hari sebelumnya, saya pun memutuskan untuk pulang dulu ke kost, seusai kajian ba'da Dhuhur di Masjid tvOne.
Kajian ba'da Dhuhur di Masjid tvOne |
Sepanjang yang saya perhatikan, Masjid ini juga tak punya lahan khusus untuk parkir sepeda. Sayang sekali. Padahal Masjid Istiqlal bukan hanya berstatus sebagai tempat ibadah kaum muslimin, tapi juga sudah menjadi salah satu objek wisata bagi turis lokal maupun mancanegara. Menyandang setidaknya 2 status itu, memiliki tempat parkir sepeda seharusnya sudah jadi sebuah keniscayaan di era sekarang ini.
Dan seperti pengalaman sebelumnya ketika saya #GowesToMosque episode pertama ke Masjid Agung Sunda Kelapa, kali ini saya juga diarahkan untuk memarkir sepeda saya di dekat gardu parkir. Masuk akal, karena di lokasi seperti inilah biasanya pengamanan terpusatkan sengaja ataupun tidak.
Melipir di pojokan gardu parkir (lagi) |
Suasana di dalam Masjid Istiqlal |
Itu juga yang saya lakukan. Berwudhu, menuju lantai 2, masuk ruang ibadah utama, melakukan shalat sunnah 2 rakaa'at, dan lalu beri'tikaf. Membaca beberapa ayat-ayat suci Al Qur'an, sambil sesekali menjawab pesan singkat dari istri tercinta, dan di sela-selanya saya tak lupa mengagumi Masjid ini.
Asma Allah masih terasa begitu diagungkan di sini. Seperti di manapun bumi dipijak, terutama di dalam Masjid tentunya. Tapi ada yang berbeda.
Di atas karpet merah tempat para ma'mum seringkali diimami Imam-imam besar, menghadap mihrab tempat ulama-ulama besar di Indonesia pernah berdiri, lalu melemparkan pandangan pada segenap sudut Masjid yang begitu luas dan megah, saya merasa makin kecil. Kecil di hadapan Allah SWT, kecil di antara entah berapa juta jama'ah yang pernah beribadah di sini, dan merasa kecil di antara sekian banyak perbedaan yang ada di muka bumi milik Allah ini. Masjid ini seakan berdiri dan berkata pada siapapun, "Islam diciptakan sebagai rahmatan lil 'alamin". Nyaris siapapun bisa masuk ke Masjid ini tanpa rasa minder. Mulai dari kaum paling papa hingga para raja, bahkan orang gila sekali pun.
Ya, ketika saya tengah duduk di bagian tengah Masjid, ada seseorang yang mondar mandir di selasar sebelah utara sambil mengacung-acungkan jarinya seakan tengah memberi ceramah atau kajian pada jama'ah. Padahal saya perhatikan tak ada siapa pun di sekitarnya, dan bahkan orang ini pun sama sekali tak mengeluarkan suara. Hanya terlihat mulutnya terus komat kamit.
Dan tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 17.30, yang artinya sesaat lagi akan tiba waktu berbuka. Tapi kok jama'ah di dalam makin sepi? Dan seperti tak ada pergerakan dari siapa pun untuk bersiap berbuka. Tak terlihat juga pengurus Masjid membagikan hidangan berbuka, seperti yang saya alami di Masjid Agung Sunda Kelapa.
"Kalau gini caranya, saya harus cari buat berbuka ke luar Masjid nih...", sambil saya langkahkan kaki ke luar.
Tapi baru saja sampai selasar Masjid, saya melihat sudah banyak orang yang duduk dengan rapi masing-masing menghadap 1 nasi kotak dan 1 botol air mineral.
Tampang lapar semua :)) |
"Allahu Akbar....Allahu Akbar..."
Betul saja. Begitu muazin melafalkan takbir membuka azan, panitia langsung mempersilakan jama'ah untuk mulai berbuka, dan langsung berwudhu jika sudah selesai menyantap hidangannya untuk kemudian segera memasuki Masjid dan melakukan shalat Maghrib berjama'ah.
Alhasil, seketika itu terjadilah lomba menyantap nasi kotak dan segenap isinya :))
Menurut informasi yang saya dapat, setiap harinya Masjid Istiqlal kedatangan hampir 4 ribu jama'ah untuk ikut buka bersama. Alhamdulillah, nyaris tak pernah surut pula donatur yang menyumbang berbagai hidangan unyuk menu berbuka. Seperti hari itu, ketika saya ikut di dalamnya. Hari itu, donatur terbesar datang dari Kedutaan Uni Emirat Arab.
Selesai menyantap hidangan, jama'ah pun segera merapatkan shaf untuk menunaikan ibadah shalat Maghrib. Jeda sesaat, lalu dilanjutkan dengan shalat tarawih yang terbagi ke dalam 2 sesi.
Ini yang unik di Masjid Istiqlal. Selain adanya pembacaan ayat-ayat suci Al Qur'an (hari itu dibacakan oleh salah seorang Juara MTQ Tingkat Nasional, dan Juara 3 - mudah-mudahan saya tak salah ingat - MTQ Tingkat Internasional), ada 2 sesi shalat tarawih. Yang pertama adalah untuk mereka yang memilih 11 raka'at. Dipotong dengan shalat witir 3 raka’at, lalu dilanjutkan lagi dengan sesi kedua shalat tarawih untuk mereka yang biasa memilih 23 raka’at.
Itulah secuil kisah saya #GowesToMosque di episode Masjid Istiqlal.
Masih banyak Masjid yang tak kalah menarik. Sampai bersua di coretan saya berikutnya.
Bayu Adhiwarsono©