SMOKE FREE

Rabu, 05 Oktober 2016

RAMADHAN RIDE: ACEH PRIDE

Sudah terlalu lama saya menunda tulisan tentang perjalanan saya di 9 Ramadhan lalu ini. Jadi maafkan, jika ada beberapa detail yang terlewatkan. 

Kala itu Alhamdulillah saya ditemani salah seorang rekan sesama pesepeda, om Muhammad Irvan. Tujuan kami, Masjid Cut Meutia yang terletak di wilayah Menteng, Jakarta Pusat. Berdasarkan hasil googling, masjid ini jadi salah satu masjid yang seringkali dikunjungi traveller. 
Pintu Masuk dari Jl. Taman Cut Mutiah
Bangunan masjid dengan arsitektur Eropa
Dengan taman yang berada di pelataran depan, masjid ini dikelilingi berbagai macam penjual kuliner. Mereka yang ingin bersantap siang, malam, atau sekedar ngopi, setelah beribadah di Masjid Cut Meutia, pasti tak akan kesulitan menemukan hidangan yang sesuai dengan seleranya. Mulai dari Rumah Makan Padang, hingga Sop Buntut, tersaji di sekitar masjid.

Dari luar masjid, arsitektur bangunannya nyaris tak seperti mayoritas masjid yang kita kenal. Tak aneh, karena seperti yang tertulis di wikipedia, Masjid Cut Meutia awalnya memang dibangun sebagai gedung perkantoran.

Sebelum difungsikan sebagai mesjid sebagaimana sekarang, bangunan ini pernah digunakan sebagai kantor pos, kantor Jawatan Kereta Api Belanda dan kantor Kempetai Angkatan Laut Jepang (1942 - 1945). Setelah Indonesia merdeka, ia pernah dipergunakan sebagai kantor Urusan Perumahan, hingga Kantor Urusan Agama (1964 -1970).[1] Dan baru pada zaman pemerintahan Gubernur Ali Sadikin diresmikan sebagai masjid tingkat provinsi dengan surat keputusan nomor SK 5184/1987 tanggal 18 Agustus 1987.[2]

Awalnya masjid ini bernama Yayasan Masjid Al-Jihad yang didirikan oleh eksponen '66 seperti Akbar Tanjung dan Fahmi Idris.[2] Pada kurun waktu orde lama, gedung ini juga pernah dijadikan gedung sekretariat MPRS.
*Sumber: Wikipedia
Posisi mimbar yang tak lazim
Begitu memasuki masjid, kita juga akan disuguhi pemandangan yang tak lazim. Posisi mimbar berada di tengah, sementara posisi Imam tetap di depan shaf yang miring nyaris 45°. Melihat latar belakang pendirian bangunan, ini tentu bukan perkara yang aneh. 

Yang asyik, jama'ah nyaris tak terganggu dalam melaksanakan ritual Shalat Maghrib berjamaa'ah. Karena sebelum adhan berkumandang, pihak DKM sudah mulai membagikan kurma dan air mineral untuk sekedar membatalkan shaum. Alhasil, ketika waktu berbuka tiba, jama'ah dapat tetap duduk di tempatnya, membatalkan shaum, sambil bersiap melaksanakan Shalat Maghrib berjama'ah.

Selesai melakukan Shalat Maghrib, jama'ah pun dapat langsung keluar Masjid untuk menyantap hidangan makan berbuka, yang telah disiapkan pihak DKM di pintu Masjid. Tertib, tanpa harus berdesakan, semua kebagian.
Bundaran HI di malam Bulan Ramadhan
Rencana awal, saya akan tinggal hingga shalat tarawih. Tapi karena saat itu saya tak membawa kunci/gembok sepeda, selesai menyantap hidangan berbuka saya pun memutuskan untuk pulang dan melaksanakan shalat tarawih di kost.

Suatu hari nanti, Insyaa Allah saya akan kembali singgah ke Masjid unik ini.

Selamat malam, Jakarta






Bayu Adhiwarsono©

Tidak ada komentar:

Posting Komentar