SMOKE FREE

Selasa, 19 Desember 2006

ANAK KITA = KITA (?)

Saya jadi ketakutan sendiri, ketika sepupu saya yang memiliki anak 4 tahun suatu waktu berkata kepada saya, dengan logat Jawa-nya yang kental, “Waduh, Bella (nama anak itu) belum hapal semua warna dan angka, padahal kan dia mau masuk TK”. Saya lalu bertanya, “Memangnya kenapa kalau Bella belum hapal semua warna dan angka?”. Sepupu saya menjawab, ”Lho, kan masuk TK di-tes dulu warna-warna dan angka”. Saya langsung kaget, sekarang masuk TK di-tes dulu???


Tak lama kemudian, alias singkat cerita, saya dengar Bella lulus dan masuk ke sekolah yang diinginkan orang tuanya. Tapi setelah beberapa bulan Bella sekolah di TK tersebut, ibunya mulai cemas dan selalu memarahi Bella, karena dia susah untuk diajak belajar berhitung dan membaca. Ibunya bercerita pada saya bahwa teman-teman di sekolah Bella sudah mulai bisa membaca dan berhitung, bahkan sebagian dari mereka di-les-kan oleh ibunya. Wah, hebat yah, anak TK aja sekarang udah kenal yang namanya Les!!! Dulu-dulu waktu jamannya kita sekolah sih, paling banter SD baru kita tau plus ngerasain yang namanya Les.


Betapa orang tua sekarang ini takut pada kemajuan jaman, sehingga anak dipaksa untuk mempelajari pelajaran yang menurut saya sih belum waktunya. Apa memang sebegitu keraskah persaingan yang menanti anak-anak kita, hingga mereka harus segera “siap”?, ataukah memang ini hanya dimaksudkan untuk “mempermudah” tugas para guru di TK dan SD nantinya?. Masih ingat kan betapa dulu seringkali guru-guru kita di kelas 1 SD susah payah mengajari kita untuk memegang alat tulis, untuk kemudian menulis dan atau menggambar, bersusah payah mengajarkan hitung-hitungan, dan lain sebagainya. Sekarang gantikan kenangan itu dengan bayangan betapa “indahnya” guru-guru kelas 1 SD beberapa tahun kedepan, karena anak kita sudah mahir membaca, menulis, berhitung dan bergambar, kala baru akan mau menginjak bangku SD. Kita tahu bahwa usia 1 hingga 5 tahun adalah masa bermain, dimana mereka baru mengenal dunia, namun juga sekaligus masa emas, dimana segala sesuatu cepat sekali mereka pelajari dan kuasai. Lalu harus kemana masa-masa indah anak kitu pergi, dan tergantikan?


Masih banyak lagi yang tampaknya sering sekali kita tuntut dari anak-anak kita. Hayo, siapa diantara kita yang sering kepengen anaknya ntar bisa, contohnya, main piano, jago beladiri, pinter ngomong Bahasa Inggris, Jepang, Mandarin, Prancis, Italia, dan jago lainnya lagi? Pasti hampir semua dari kita kan?. Lho, memangnya anak kita itu manusia, atau robot? J. Kasihan kaleee….., anak kita belum apa-apa udah dituntut ini-itu.


Balik lagi ke pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya saya utarakan, apa memang sebegitu keraskah persaingan yang menanti anak kita, sehingga dia harus sedemikian rupa dipersiapkan dan diperlengkapi dengan “senjata-senjata” canggih?. Atau justru dia hanya terkena getahnya saja, gara-gara kita punya begitu banyak mimpi yang gak kesampaian? Gara-gara kita gagal jadi artis seperti Peterpan, misalnya, lalu anak kita harus kursus segala macam alat musik plus nyanyi, biar saat besar nanti dia bisa bikin band dan cepat terkenal, lalu kaya. Atau gara-gara kita sering kayak orang bego waktu diajak ngobrol bule, lalu anak kita harus kursus segala macam bahasa asing, mulai dari Bahasa Inggris, sampai Bahasa dari negeri antah berantah. Atau contohlah anak saya yang punya nama Jepang, otomatis dong, saya pun ingin anak saya jago Bahasa Jepang, bukan cuma bisanya bilang “Arigato…” doang !. Atau juga gara-gara dulu kita selalu lulus pas-pasan, atau sering dapat nilai Raport merah, yang membuat orang tua kita pulang dari pertemuan POMG dengan muka ditekuk tujuh, lalu anak kita harus kursus segala macam pelajaran, mulai dari matematika sampai PPKN (dulu PMP, ntar sih gak tau ganti jadi apalagi!).


Lalu, apa batasannya? Harus seberapa pintarkah anak kita? Apa salahnya sih kalau dia gak pintar-pintar amat? Terutama saat dia masih dalam usia dimana isi seluruh kepalanya cuma “bermain”. Toh, banyak sekali orang-orang pintar di negeri kita ini yang akhirnya cuma jadi koruptor, buronan, atau………….dukun ! Nah lho….!!. Kecuali ada yang menemukan caranya membuat anak kita pintar, tanpa kehilangan kekanak-kanakannya.


19 Desember 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar