SMOKE FREE

Rabu, 29 November 2006

SALES !!! BIKERS' HEAD = Rp. 10.000 !!!

Berapa sering kita melihat orang-orang dengan kepala menggunakan penutup ini kala mengendarai motor??? Mulai dari motor yang super butut, sampai motor yang harganya puluhan juta!!! Aneh kan? motor puluhan juta, tapi beli helm yang harganya cuma beda tipis sama sebungkus rokok!Sebagian orang mungkin bilang itu helm, walau kategorinya cuma hanya "cetok" saja. Tapi buat gua, ini sama sekali bukan helm! Ini sekedar penghias kepala, dan sebagai alat untuk ngibulin aparat polisi, biar nggak kena tilang. Gua jadi bingung, yang goblok ini para pengendara motor yang pake penutup kepala model ini, atau (with all do respect, sir!) para aparat polisi yang menganggap penutup kepala ini juga termasuk kategori helm (saya sih yakin pak polisi, kalo bapak-bapak pasti sebenernya jauh lebih pinter dari itu kan?).Kalau kita bertanya, "Mas, mas,.....kok pake helm cetok begituan sih?", jawabannya bisa bermacam-macam.
a. "Polisi bukan, penjual helm bukan, kok ikutan repot sama helm yang gua pake!!!"
b. "Ya elah man!!! tiban rumah kantor doang, masa harus pake helm ratusan ribu!!!"
c. "Busyet dah! lu kira gua mau balapan, harus pake helm kayak Max Biaggi?"
d. "Gua kan jagoan! mana mungkin cilaka sih!"
e. atau mungkin seperti jawaban salah satu jawaban (sorry to say) temen kantor gua, "gua sih lagi cari helm yang bener man, cuma belum nemu warna yang cocok".

Nah, untuk kasus temen gua ini, gua bales, "emang lu cari warna apaan sih?".
Doi jawab, "warna merah yang gimanaaaaa.....getoh!".
"Tuh, yang si Fevo merah warnanya, bagus lagi coraknya!", gua timpalin.
Eh, ni anak masih ngeles aja kayak supir bajaj, "tapi bukan yang kayak gitu yang gua mau, terlalu rame! Gua cari warna merah yang cerah, polos, gak ada corak apa-apa!".
Pusing-pusing akhirnya saya jawab sambil nyengir, "ya lu mah sengaja cari warna yang nggak ada! ntar gua suruh cat sendiri.....nggak mau juga! cape deh!!!!".

Terlihat kan bedanya helm, dan penutup kepala?



Krisis ekonomi yang (katanya) melanda bangsa kita tampaknya memang belum akan segera pulih. Naiknya (versi Pemerintah: Penyesuaian Harga) hampir semua harga barang dan jasa, seperti BBM, Listrik, Tarif Tol, Tarif Telepon, dan lain sebagainya, membuat sebagian besar rakyat Indonesia yang tadinya memang sudah tiarap, sekarang makin tiarap, kalau tidak bisa dibilang justru tenggelam. Dan kemudian banyak hal pula yang akhirnya harus berubah. Salah satunya kebiasaan orang memilih alat transportasi.

Dulu orang cenderung memilih naik kendaraan umum, bila ingin menekan jumlah pengeluaran. Dan bila sudah memiliki sedikit tabungan, maka mobil bekas pun, menjadi pilihan untuk alat transportasi pribadi, baik untuk keperluan sehari-hari rumah-kantor-rumah, maupun untuk tamasya bersama keluarga. Saya masih ingat betapa dulu setianya Bapak saya (dan tentunya saya juga) mengendarai mobil Toyota Land Cruiser FJ40 tahun 1973. Seringkali untuk keluar yang jaraknya hanya 1 hingga 3 kilometer sekalipun, kami masih dengan gagahnya memakai “Si Kukut” (panggilan keluarga kami untuk mobil ini. Dalam Bahasa Sunda, artinya “sesuatu yang dipelihara”). Padahal Si Kukut ini hanya butuh 5 hingga 7 kilometer saja, untuk menghabiskan jatah bensin 1 liter. Itu kenapa banyak orang (walau hingga kini kami sekeluarga masih berani berdebat soal ini) menilai mobil sejenis Si Kukut ini termasuk boros bahan bakar.

Saya juga termasuk orang yang penakut kalau berada di atas kendaraan roda dua. Saya bisa hampir terkencing-kencing, jika motor yang saya tunggangi, melaju diatas 50 km/jam. Jadi makin lengkaplah alasan saya (dan mungkin berjuta-juta orang lainnya di Republik ini) yang lebih memilih mobil, dibanding motor, dulu.

Namun sekarang semuanya berbalik. Setelah menikah, mempunyai seorang putra, dan seperti keluarga lainnya dituntut mengencangkan ikat pinggang, saya pun mulai bersikap realistis, dan akhirnya (ikut-ikutan) membeli motor. Bukan beli baru secara kredit seperti orang lain, tapi bekas dan murah meriah. Ayah kami pun seakan kompak akhirnya menjual Si Kukut, dan membeli kendaraan roda 4 yang lebih irit, katanya.

Tapi dasar penakut, saya pun membeli segenap perlengkapan bermotor, mulai dari helm, sarung tangan, dan pelindung dada. Yang menjadi prioritas saya, tentu helm. Dan lagi-lagi, saking penakutnya, saya pun memilih membeli helm yang agak mahal (untuk ukuran dompet saya yang cuma wartawan), sekira Rp. 300.000. Yang membuat saya terheran-heran, sekaligus miris, sekaligus kagum, sekaligus marah, ialah ketika saya tengah membeli helm itu, ada pembeli lain yang juga tengah membelikan istri tercintanya helm. Dan yang dipilihnya, adalah helm seharga Rp. 30.000, yang saya yakin sekali, jangankan untuk terlibat dalam sebuah kecelakaan besar, terjatuh dari genggaman saja, helm itu akan pecah.

Kenangan kala membeli helm itu diikuti kenangan lain yang tak kalah mirisnya. Salah satu teman saya, sebut saja M, yang lebih dulu berjibaku dengan motor di jalanan Jakarta, tertawa melihat saya menenteng helm kebanggaan saya. Dia bilang, “Gua sih nggak segila lu, Bay, beli helm ratusan ribu. Gua cukup pakai helm standar pabrikan motor gua aja deh!”. Teman saya yang lain, sebut saja A, yang ternyata sependapat dengan saya dalam memilih helm, langsung menimpali perkataan M, “Lu pikir pabrikan motor mau kasih helm bagus dan mahal, untuk hadiah pembelian motor? Paling banter mereka cuma menganggarkan Rp. 50.000, untuk helm yang lu pakai itu! Begitu kebanting, hancur deh tu helm!”. Entah apa yang sebenarnya melatarbelakangi pilihan M untuk memilih helm, apakah memang dia sedemikian yakinnya dedngan kekuatan dan keamanan helm hadiah pabrikan motornya, atau memang dia memilih untuk tidak menganggarkan uang lebih untuk membeli helm.

Yang jelas, ternyata segala himpitan ekonomi yang harus kita terima dengan sukarela, mampu mengubah segala pandangan hidup kita, termasuk harga kepala dan nyawa kita. Lihatlah di kepala anda, berapa bandrol harga yang terpasang???.

Lalu, apakah harus jadi orang penakut, seperti gua, biar sadar akan betapa berharganya badan kita, kepala kita, dan nyawa kita? Atau harus mengalami kecelakaan terlebih dulu?

Tapi yang pasti, gua nggak mau kepala gua ditulisin......

"SALE !!! BIKERS' HEAD, Rp. 10.000 !!!".

MAKASIH, UMMI SAYANG.....!!!


Pertama kali kenal Ummi, akhir Agustus 2003, setelah dapat nomor Ummi dari one of our best friend, Evi Nafisah Zulkarnaen. Langsung telepon, Abi inget waktu itu ummi lagi di angkot. Tapi untungnya Abi nggak kapok, dan nelepon lagi di lain kesempatan. Hanya butuh waktu beberapa lama, walau lewat telepon, karena Abi di Jakarta dan Ummi di Bandung, kita cepat sekali semakin dekat dari hari ke hari. Ummi inget kan ada apa di tanggal 9 September 2003? Kalau bahasa ABG sih, kita jadian! Yuhuuuuu..... Kita dah buktiin sama banyak orang, Sayang, bahwa jarak bukan halangan berarti buat kita. Sekalinya ke Bandung, Abi pasti bawa kenangan indah begitu balik kerja lagi ke Jakarta!!! Damn, I always hate that kinda sayin' goodbye moment!


Termasuk saat-saat seperti photo diatas. Masih inget kan, Sayang?


Hari itu kan double date sekalian dinner kita sama pasangan "nakal" Reno Permana dan ******* (sensor, demi keamanan negara) di Valley Dago.


Sekarang, 2 tahun lebih kita menikah. Susah senang, sedih bahagia, marah tawa, tak pernah luput mewarnai hari-hari kita berkeluarga. Kehadiran putra tercinta kita, Muhammad Hideyoshi 'Abdul 'Aziz Adhiwarsono, menambah warna sendiri dalam cinta kita. Ditambah sekarang untuk sementara kita harus hidup terpisah. Ummi sama Hiyoshi di Bandung, sementara Abi di Jakarta, dan hanya bisa bertemu 2 hari dalam 1 minggu.


Afterall, I really don't know what I'm gonna be without you, bidadariku, matahariku, rembulanku, bintangku, Alsi Nur'Khalisah. Maaf kalau selama ini dan hingga selamanya nanti, Abi akan selalu membuat Ummi harus bersabar dengan segala kekurangan Abi.


Meminjam bait-bait dari lagu salah satu band favorit kita berdua NAFF,


"Jangan letih mencintaiku janganlah terhenti. Jangan lelah menyayangiku, hingga bumi tak bermentari"


 


29 November 2006

Rabu, 22 November 2006

GARA-GARA BUSH

Pukul 20.00, 17 November 2006.Seperti biasanya, Jum'at malam, adalah jadwal mudik ke bandung, untuk menengok anak dan istri tercinta. Berita kedatangan salah satu Presiden tersombong di dunia, George W. Bush, yang membuat Bogor siaga, ikut mempengaruhi rencana perjalanan saya.

Tanpa SIM, ditambah STNK yang dah mepet tanggalnya, membuat saya harus mencari alternatif jalan lain menuju Bandung, selain rute biasanya yang selalu always melalui Bogor. You know lah, polisi sepertinya gak bakalan akrab, dengan posisi biker seperti saya.

Berbagai rute alternatif mulai dicari. Jonggol, jelas tak mungkin. Berdasarkan pengalaman dan cerita rekan-rekan, Jonggol merupakan salah satu wilayah yang hanya aman bila dilalui, kala matahari masih bersinar. Berbagai alasan bisa kita runut. Mulai dari kemungkinan adanya bajing loncat, alias rampok, alias begal, atau apalah, pokoknya wong jahat. Jalanan yang cenderung lebih sempit dan berkelok-kelok, dibanding jalur Puncak. Hingga mungkin, kurangnya tempat istirahat yang ideal.

Sentul. Siang sih kata rekan di Kymco Motor Club Jakarta (KMCJ), Budi, memang enak dilalui, kalau siang. Tapi malam, nggak janji. alasan, hampir sebunyi dengan Jonggol.

Pilihan terakhir, via Bekasi-Karawang-Purwakarta. Berdasarkan masukkan one of my bro di milis Kymco-Indonesia, Rangga, rute ini cukup aman dilalui. So, .....let's the journey begin!

VS Truk-truk segede gajah !Berbekal peta Jabotabek, yang biasanya menempel di dinding kantor (Busyet, niat amat ya!), Blue Black Trend 2000 langsung menuju kawasan Kalimalang. Jalanan sih enak. Walau lebarnya agak pas-pasan, tapi panjangnya lintasan, membuat menyalip 1-2 mobil sekaligus, bukan hal mustahil, asal tetap hati-hati dengan laju kendaraan dari depan.Tapi memasuki Bekasi, ranjau darat mulai bertambah parah. Rute Cibinong yang biasanya saya lalui, tak ada apa-apanya dibanding rute Bekasi ini. Beberapa kali saya terpaksa menghantamkan motor saya ke lubang-lubang yang punya kedalaman sekira 10 cm. Daripada saya berusaha mengelak, malah benturan dengan kendaraan lain yang sama-sama bersusah payah menghindari ranjau !!!

Menjelang masuk Purwakarta, saya memilih rute via Kosambi, sesuai saran tukang ojeg, yang sempat saya ajak bincang-bincang kala istirahat di Karawang. Jalanan disini lebih mulus, tapi lintasan lebih sepi, dan sempit. Tapi sebanding lah, dengan potongan jarak dan waktu yang saya dapat, daripada saya melalui Cikampek.

Memasuki Purwakarta, baru deh, Truk-truk segede gajah, mengajak beradu torsi...hehehehehe....! Motor saya yang mungkin hanya sepersekian ukuran body-nya, harus pintar-pintar mengambil lubang diantara mereka, bila ingin mendahului mereka.

Singkat cerita, 6,5 jam (termasuk berhenti untuk tidur selama 1 jam di Purwakarta) sejak saya berangkat dari Jakarta, akhirnya saya tiba di Bandung. Bertemu 2 malaikat terindah, Alsi Nur'Khalisah dan Muhammad Hideyoshi 'Abdul 'Aziz Adhiwarsono.





Teteupp.....Puncak !
Senin dini hari. Biasa, ini adalah jadwal untuk kembali ke kenyataan...hehehehehe....! Yaitu harus balik ke Jakarta, dan lagi-lagi bo,....kerja!

Kali ini, one of my bro di milis, Rangga Santika, kebetulan punya jam balik bareng. FYI nih, Rangga ini salah satu yang berhasil saya racunin untuk menempuh perjalanan Bandung-Jakarta, pada dini hari! Enak kan bro, dingin-dingin beku! Hahahahahaha....

Janjian ketemu di depan Terminal Leuwipanjang Bandung pukul 02.00, kita rundingan sebentar soal rute yang bakalan diambil. Dan setelah dipikir-pikir, jalur Puncak-Bogor, tetep jalur ideal. Resiko tertutup blokade aparat keamanan pada pukul 06.00, jelang kedatangan Si Bush, kita terjang!

Dalam perjalanan ini, sorry to say bro, saya baru sadar betapa jauh perbedaan kemampuan mesin 100 cc dkk dengan 125 cc. Rangga yang menggunakan Free-Ex, memang menempel di belakang kala kita meluncur di medan turunan. Body ringan Ex, ban masih yahud, ditambah keberanian Rangga, "hanya" mendapat perlawanan minim dari Trend saya, yang punya ban nyaris gundul, body gambot, dan nyali sang rider yang tipis....hiks!

Tapi kala di lintasan lurus mendatar dan tanjakan, hehehehe......Rangga maik jauh tertinggal. Perasaan Trend saya termasuk lagi boyot gara-gara knalpot abal-abal, eh ternyata, masih bisa ninggalin Ex jauh di belakang.
Disambut Brimob dan Gegana

Istirahat 3 kali, yaitu SPBU Rajamandala, Puncak, dan Ciawi, kita tiba di Bogor 05.30. Jalan Pajajaran sudah tertutup sebelah jalurnya. Tapi kita masih diijinkan masuk, karena masih tersisa 1 jalur lagi.

Begitu melintasi kawasan Kebun Raya Bogor, Bapak-bapak aparat dari Bribob, Gegana, dan lain sebagainya, keluar seakan menyambut kami.....busyet, GR amat ya! Mereka tengah bersiap-siap untuk mulai bertugas menina-bobokan Bush, selama dia berada di Bogor.

Dari Bogor hingga Jakarta, kita hanya sempat berhenti 1 kali lagi di Kalibata, karena kantuk menghadang. Oya, kali ini kita sepakat menghindari rute Gunung Sahari, dan memilih via Margonda. Tapi ternyata tetep....Macrets!!!!!!!!!!!!!

Singkat kata aja ya! Kita mendarat di Mangga Dua pukul 07.30.
Next time, kita jalan bareng lagi bro!





22 November 2006